Selamat Datang

Friday 29 April 2011

Satu Bidadari


Hujan turun rintik-rintik hari ini. Aku hanya tiduran dikasur hangatku. Minggu pagi yang dingin. Aku beranjak dari tempat tidur ku. Beranjak berdiri didepan cermin. Hanya sebentar lalu aku beranjak lagi kejendela. Hujan...  Benar ini hujan.. Hujan yang tiga tahun lalu mengantarku bertemu dengannya.
Masih sangat pagi. Aku bisa melihat perlahan-lahan kabut turun lalu menjadi cerah dengan diringi rintik-rintik hujan. Aku duduk termenung menatap keluar jendela. Kereta yang membawaku melaju pesat direl. Suaranya berderik-derik. Aku melirik jam ku. Masih pukul 06.15 WIB. Masih beberapa jam lagi aku sampai distasiun.
Hujan masih terus turun ketika aku sampai distasiun. Para penumpang berbondong-bondong keluar dari kereta. Aku memilih duduk ditempat tunggu penumpang. Menunggu jemputan. Beberapa kali aku menelfon kerumah kakek, tapi kakek bilang beliau tak dapat menjemput dan mengutus seseorang untuk menjemputku. Aku bertanya-tanya siapa yang rela pagi-pagi apalagi hujan begini menjemputku. Aku hanya duduk diam membaca buku. Tiba-tiba handphone ku berbunyi. Nomor tak dikenal. Aku tak menggubrisnya. Berbunyi lagi. Aku angkat dengan nada dingin.
“Halo?”
“Halo Asslamulaikum! Ardan ya? Ini Velisa. Kamu dimana Dan? Aku yang disuruh kakek buat jemput kamu.”
“Walaikumsalam. Aku diruang tunggu.” Jawabku singkat.
“Ok Aku kesana ya.”
Kemudian sambungan telfon diputus. Lima belas menit kemudian handphone ku berbunyi lagi. Nomor yang sama. Aku angkat tapi kemudian telfon itu langsung diputuskan. Seseorang mendekat. Aku terusik untuk melihat. Aku kaget ketika dia tersenyum padaku. Langkahnya pasti menuju kearahku. Gadis manis berjilbab coklat ini lalu berdiri dihadapan ku.
“Ardan ya?”
Dia tersenyum lagi, menunjukan kedua lesung pipinya. Manis. Untuk sesaat Aku terpukau. Kemudian kesadaran ku pulih lalu mengangguk.
“Velisa,” Ujarnya lalu mengulurkan tangannya.
“Ardan,” Aku membalas jabatan tangannya.
Hujan diluar berubah menjadi rintik-rintik. Kemudian berhenti. Selama itu aku mengobrol dengannya. Menunggu hujan reda. Dan selama itu aku tak bisa memalingkan pandanganku darinya. Aku hanya bertanya dalam hati. Tuhan tidak bermimpikah aku hari ini ?
Seminggu berlalu. Aku mulai terbiasa dengan kehidupan didesa kecil yang nyaman ini. Aku tahu sekarang siapa Velisa. Dia yang selalu datang merawat kakek dan membantu kakek ku selama ini. Rumahnya tidak jauh dari rumah kakek. Ayahnya seorang mantri dan ibunya seorang bidan. Kakek adalah pasien ayahnya, hampir setiap hari dia datang untuk menjenguk kakek. Walaupun kakek sudah ditemani oleh Mbok Ijah. Tetapi Velisa selalu datang untuk membantu Mbok ijah. Tak hanya membantu membersihkan rumah atau memasaak tetapi juga membantu merawat kakek. Sehingga dia dianggap kakek seperti cucu sendiri.    
Hari-hari berlalu, aku semakin akrab dengan Velisa. Dia gadis yang menyenangkan. Lucu, manis, mandiri, dan soleha. Apakah aku terlalu berlebihan jika memujinya seperti ini ? Aku sangat tertarik dengan kepribadiannya. Walaupun dia memakai jilbab tapi dia sangat simpel. Bagamana pun jilbab itu dipakainya dia tetap cantik. Dia cantik dengan sendirinya, wajahnya tak pernah berpoleskan make up, tak perlu dibuat cantik dia memang telah cantik dengan kesederhanaannya. Dia juga tak terlalu fanatik walaupun dia kurang lebih banyak tahu tentang agama tapi dia bisa mengondisikan dirinya sebagai seorang yang taat beragama dalam kehidupan yang modern.
“Ardan!”
Aku berbalik dan menghadapnya. Dia tersenyum.
“Jalan-jalan yuk!”
“Kemana?”
“Ikut aja! Yuk!”
Aku mengikutinya. Kami berjalan lumayan jauh, sambil bercerita sepanjang jalan. Dia terus menceritakan bagaimana kekagumannya dengan semua cipataan Tuhan. Dia juga menceritakan bagaimana kekagumannya pada para Nabi dan Rasul. Serta keinginannya untuk memiliki suami tamapan seperti  Nabi Yusuf, sabar seperti Nabi Ayyub, berani seperti Nabi Daud, Pintar seperti Nabi Sulaiman, dan yang pasti sorang imam dan pemimpin yang baik seperti Rasulullah SAW. Ketika dia mengatakan itu semua, aku rasanya ingin berkaca. Bisakah aku seperti itu ? Sesaat setelah itu aku seperti bermimpi menginginkannya.
Kami sampai dipadang ilalang. Sejauh mata memandang warna hijau lembut itu terbentang luas. Kami duduk dibawah pohon. Pohon yang sangat besar namun aku heran ada tangga-tangga kecil yang sepertinya memang sengaja dibuat dibatang pohon itu.
“Eh Dan, Mau lihat salah satu ciptaan Tuhan yang menakjubkan nggak?”
“Emang apa? Ada disini? Tanyaku.”
Dia mengangguk.
“ Kita naik keatas. ” Ujarnya lagi.
Dia menunjuk pohon. Lalu aku mengerti kenapa ada tangga-tangga kecil itu. Aku mengikutinya naik. Dia benar-benar terlihat telah biasa menaikinya. Lalu dengan lincah duduk sebuah dahan pohon yang besar dan kokoh. Aku duduk disampingnya.
“Lihat!” Katanya.   
Aku melihat kearah yang dia tunjuk. Bagitu melihatnya tak henti mulutku mengucapkan pujian-pujian untuk Allah SWT. Memandang padang ilalang nan hijau itu benar-benar menakjubkan. Apa lagi ketika mereka bergoyang-goyang ditiup angin lembut. Indah sekali.
Aku mengluarkan handphoneku lalu memotret keindahan ini. Kameraku arahkan ke Velisa, dia sedang menatap keindahan itu juga. Pandangannya lurus, aku menurunkan kameraku sedikit. Aku tak ingin hanya kamera ini yang memotretnya. Tapi mata ini juga akan memotretnya dan dia akan tersimpan lebih lama didalam memori otakku. Aku benar-benar terpesona, melihat bagaimana mata indah itu menatap jauh menikmati keagungan ciptaan Tuhan. Dia berbalik menghadapku. Aku gelagapkan lalu berpura-pura memotret lagi.
“Udah lihat kan ? Turun yuk!”
Aku hanya mengangguk. Tak tahu kenapa aku yang biasanya begitu biasa dengan setiap gadis yang aku temui. Aku yang biasanya selalu membuat para gadis berhenti melakukan sesuatu ketika aku berbicara. Aku yang begitu dikagumi. Tapi kini Aku yang sombong dengan semua itu. Kini hanya bisa tertunduk malu ketika Tuhan memperlihatkan padaku. Bagaimana DIA menciptakan seseorang yang sederhana ini tapi mampu membuat ku terpesona pada setiap geraknya, suaranya, bahkan saat dia berkedippun mampu membuatku terpaku.
Kami turun perlahan. Lalu Velisa berjalan kearah ilalang-ilalang itu. Aku makin terkagum ketika dia merentangkan tangannya, menikmati angin lembut membelainya, Jilbab ungunya berkibar-kibar. Aku tertegun lagi menatapnya.
“Dan, Kesini!!!”
Teriaknya mengagetkanku yang sedang menatapnya. Aku berjalan perlahan mendekatinya. Angin mulai membelai lembut tubuhku.
“Dan, mau lihat ciptaan Tuhan lagi nggak ? Ini nggak kalah indah loh ? Heheh” Ujarnya menggodaku.
“Hemm apa lagi ? Burung berkicau ? Angin ? Rerumputan yang bergoyang ini ?” Tanya ku jahil sambil mengambil salash satu ilalang kemudian mengarahkan ujungnya kehidungnya.
Dia berlari-lari menghindar ketika aku terus saja mengejarnya dengan batang ilalang itu. Aku tahu dia tak tahan geli. Kami menjauh dari pohon itu. Sepertinya sekarang kami telah begitu jauh masuk kepadang ilalang itu. Velisa berhenti, sambil memintaku untuk berhenti mengejarku dan mengelitiknya. Aku tertawa, membuang ilalang itu.
“Haduhhh Dan, capek! Kamu sih jahil banget,” Katanya lalu mendekat kearahku.
“Hahaha, Kamu sih Vel lucu sekali. Mudah banget geli.”
“Huft, kan wajar kalau aku orangnya penggeli. Aku kan cewe. Hehe” Ujarnya lalu memainkan matanya dengan berkedip-kedip lucu.
Aku menjitak kepalanya lembut. “Cewe dari mana ? cewe kok naik-naik pohon gede, maennya dipadang ilalang, makannya banyak, kalau naik skuter ngebut,” cerocosku.
Aku mengingat beberapa hari lalu ketika dia makan siang dirumah kakek dan lalu mengajakku kepasar naik skuternya. Aku rasanya sepot jantung saat itu. Aku hanya tersenyum mengingatnya. Aku melihatnya lagi. Dia sedang cemberut. Aku terpingkal-pingkal melihat ekspresi wajahnya. Pastilah dia cemberut karena perkataan ku tadi.
“Terus ajah deh ngejek aku. Nyesel loh ntar ngejek aku.” Katanya masih cemberut.
“Kesel kenapa emang ?” Tanya ku berhenti tertawa.
“Iya, nggak bisa lihat keindahan ciptaan Tuhan lainnya. Heheh” Ujarnya.
“Emang apa sih ?” Tanyaku penasaran.
“Mau tahu? “
“He’eh!” Kataku sambil mengangguk.
“Ini yang lagi dihadapan kamu ini. Ciptaan Tuhan yang paling langka dan limited edtion! Hehe” Katanya lalu tertawa.
Aku langsung ingin menjitak kepalanya. Dia menghindar lalu berlari lagi. Aku menangkap tangannya. Lalu menariknya kearahku. Dan kemudian dia terdorong kehadapanku. Aku menunduk melihat wajahnya tepat didaguku. Dia masih kaget karena tiba-tiba aku tarik. Lalu dia mendongak. Mata kami bertemu, Tuhan bisakah waktu diberhentikan untuk saat ini saja. Dia begitu terasa dekat. Dekat sekali. Rasanya aku ingin memeluknya, rasanya aku ingin merengkuhnya. Aku melepas tanganku. Jantungku berdegup kencang, aku sadar apa yang aku lakukan salah. Dia lalu mengerjap-ngerjapkan matanya lucu, lalu tersenyum. Dan menjulurkan lidahnya padaku. Lalu berlari lagi. Aku hanya terpaku. Masih bisa terlihat sinar dimata itu, masih bisa terasa kedekatan itu.
Kesadaranku kembali lalu melihatnya, dia hanya beberapa langkah dariku. Tersenyum. Aku bertanya-tanya apakah dia mendengarkan detak jantung ini. Benar-benar tak bisa aku kendalikan. Aku mengambil handphoneku. Lalu membidik kamera ku kearahnya. Setiap dia tersenyum, setiap dia bergerak, setiap mata itu berkedip. Aku ingin terus melihatnnya.
Tak terasa dua minggu lagi aku akan pulang kerumah. Rasanya aku tak siap dan tak akan siap untuk meninggalkan desa kecil ini. Meniggalkan mata indah itu, meninggalkan senyum manis itu, meninggalkan kedipan manja itu. Ya Tuhan jantungku terus berdegup kencang ketika mengingatnya.
Hari itu aku beranikan diri main kerumahnya. Sesuatu hal yang sudah ku lakukan sebenarnya. Tapi kali ini berbeda. Aku belum pernah keperkarangan belakang rumahnya. Dan Velisa juga tak pernah mengizinkan ataupun mengajakku kesana. Entahlah, dia seperti menyembunyikan sesuatu disana. Perkarangan itu ditutupi tembok tinggi, namun ada pintu kecil menuju kesana. Pintu kecil itu terletak disebelah kanan dan agak menjorok kebelakang. Aku tahu itu ketika aku bertanya apa yang ada dibalik tembok dan pintu kecil itu. Tapi dia hanya menjawab bahwa itu halaman belakang rumahnya.
Aku beberapa kali mengetuk pintu rumah itu. Tetapi tak ada juga yang menjawab. Mungkin Ayah dan Ibu Velisa sedang pergi. Tetapi kemana Velisa ? Tak biasanya sore-sore begini pintu terkunci dan Dia tak ada dirumah.
Aku berjalan kesamping rumah rasa penasaran ku timbul ketika melihat pintu kecil itu. Aku perlahan mendekatinya. Lalu aku dorong, tidak terkunci. Aneh. Lalu aku masuk. Halaman belakang  yang sangat luas. Tumbuh beberapa pohon disana, dan ada banyak pot-pot bunga kecil. Yang berisi bunga-bunga yang terawat dengan baik. Lalu tak berapa lama aku bisa melihat padang ilalang.  Aku berjalan pelan, menuju sebuah pohon.  Dari jauh aku seperti melihat sesorang yang duduk diatas snadaran bangku dibawah pohon itu. Merentangkan tangannya. Aku mendekat.
Aku benar-benar terpaku kali ini. Senyumnya terus mengebang, membiarkan angin membelai lembut rambutnya yang hitam panjang. Lalu dia berhenti merentangkan tangannya. Kepalanya ditekukkan kekanan. Dia tersenyum, menyingkirkan rambutnya dari wajahnya yang cantik. Lalu perlahan membuka matanya. Masih tersenyum. Lalu memandang ilalang itu dengan tatapan yang selalu aku rindukan sinarnya. Lalu dia berdiri merentangkan tangannya. Ketika angin semakin kencang berhembus lalu kemudian dedaunan yang telah lemah dari tangkainya berguguran jatuh ketanah. Aku benar-benar terpukau. Dia keindahan yang benar-benar indah. Tuhan benar-benar menciptakannya dengan segala keindahannya. Dibalik dedaunan yang berjatuhan itu aku bisa melihat dia tersenyum, senyum yang akan aku ingat selalu. Sebuah senyum dari seorang.. Bidadari.   
Aku masih tak sadar, ketika raut wajah itu berubah seketika melihatku. Air mata itu menetes dari pipinya. Velisa berlari kencang masuk kedalam rumahnya. Pintu belakang itu ditutup dengan kasar olehnya. Ya Tuhan. Aku lupa! Aku sedang memandangnya dari tadi. Aku sedang melihat apa yang dia sebut aurat. Ya Tuhan, Ya Tuhan! Itu adalah hal yang sangat berharga bagi Velisa. Yang sangat dia jaga. Yang sangat Bearti untuknya. Ya Tuhan. Kesadarnku kembali aku berlari mengejarnya. Menggedor pintu tak ada jawaban. Lalu keluar dari pintu kecil itu. Sungguh aku menyesal sekali. Ini adalah perbuatan yang sangat aku sesali, membuat sinar mata itu redup karena kecerobohanku yang tak bisa menahan diri. Aku benar-benar benci diriku sendiri. Aku kembali kedepan menggedor-gedor pinti depan sambil memanggilnya. Tapi tak juga ada yang menjawab. Baru kali ini rasanya aku ingin menangis karena rasa penyesalan yang sangat dalam dihatiku. Entah kenapa melihat butir-butir itu jatuh hatiku terluka. Rasanya sesuatu yang sangat kasar menarik jantung ku keluar tanpa ampun. Sakit sekali.
Semenjak hati itu. Aku tak pernah melihat Velisa. Hari kepulanganku telah tiba. Aku benar-benar ingin melihatnya untuk terakhir kalinya. Aku benar-benar memberanikan diri kali ini untuk datang kerumahnya. Bertekad untuk meminta maaf. Jika pun aku akan diminta bertanggung jawab aku akan lakukan. Asalkan aku tak melihat lagi butir-butri itu jatuh.
Aku sudah berada didepan rumahnya. Ketika aku melihat ayah Velisa memasukkan tas kedalam mobilnya. Aku mendekatinya.
“Maaf pak, Velisa ada?”
Ayah Velisa melihatku. Lalu tersenyum.
“Ardan. Ada waktu untuk ikut bapak sebentar?”
Aku hanya mengangguk. Aku bertekad apapun yang dilakukan Ayah Velisa terhadapku aku terima ini salahku. Aku ikut naik kemobil itu. Mobil terus melaju dijalan kecil lalu kejalan besar. Perjalanan terasa cukup lama. Karena aku dan Ayah Velisa hanya berdiam diri. Aku heran ketika kami masuk kesebuah rumah sakit. Aku terus mengikuti Ayah Velisa masuk kerumah sakit itu. Aku fikir dia mungkin ada keperluan sebentar dirumah sakit itu. Tapi aku salah, salah besar..
Aku terpaku didepan pintu kayu. Ada kaca kecil yang melekat dipintu itu yang membuat aku bisa melihatnya. Velisa terbaring kaku. Beberapa selang melekat ditubuhnya. Bunyi tut tut beriringan dengan garis naik turun yang ada dimonitor itu. Aku merasakan tubuhku mati saat itu juga.
Ayah Velisa datang mendekatiku. Dia berbicara tanpa aku minta.
“Velisa menderita lemah jantung udah dari kecil, dia tidak bisa terlalu senang ataupun terlalu sedih bahkan terlalu lelah. Setelah hari dimana kamu melihatnya, Dan. Dia menangis tak henti-henti, 3 hari berturut-turut. Dia benar-benar merasakan kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Setiap hari isak tangis itu beriringi dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang terus dia lantunkan. Sebagai orangtua kami benar-benar merasakan kepedihannya. Hari keempat, Velisa tak bisa bertahan. Kami tak mendengar lagi ayat-ayat Al-Qur’an itu dilantunkan. Dia benar-benar melawan rasa sakit ditubuhnya dengan rasa sakitnya kehilangan hal yang berharga itu baginya. Karena itu dia bertahan selama 3 hari. Dokter yang merawatnya selama ini pun heran. Bagaimana dia bisa bertahan selama itu. Oya Dan, ada pesan dari Velisa. Ini..” Kata ayah Velisa. Lalu menyodorkan sebuah kertas.
“Kertas itu kami dapat dalam genggamannya. Membacanya kami bingung Dan. Sebagai orang tua kami sejujurnya tak tahu harus berbuat apa. Dengan kondisinya yang begini. Dengan keadannya begini. Apa mungkin kamu..”
“Aku akan menikahi Velisa pak. Hari ini juga.” Ucapku tegas setelah membaca tulisan singkat itu.
Untuk yang selalu dalam lindungan Allah SWT, Ardan.
Maukah kamu menikahiku ?
Hanya itu yang ditulisnya. Hanya itu yang dia minta padaku yang telah melihatnya. Dia tidak minta ganti rugi atau apapun. Iya, yang harus aku lakukan adalah bertanggungjawab. Tak hanya kepada orang tuanya. Tetapi pada-Nya Allah SWT. Karena telah benar-benar berdosa.
Hari itu juga aku menghubungi orangtua ku. Meminta restu, alhamdulillah mereka mau mengerti. Dan merestuiku. Mengingat umurku yang memang sudah pantas menikah dan juga aku sudah bekerja walaupun aku masih kuliah.
Sebagai wali ku aku minta kakek, mbok ijah dan seorang Pak kiai temannya kakek sebagai saksi yang datang. Dan dari Velisa Ayah, Ibu dan paman serta saudara dekatnya hadir. Dari jauh ibuku mendoakan aku. Semua sudah siap benar-benar dalam keadaan sederhana dan seadanya. Tak ada baju pengantin, tak ada riasan, tak ada apapun yang meriah. Aku dengan lancar mengucapkan ijab qabul. Setelah itu aku pasangkan cicin itu dijari manis Velisa. kemudian mengecup tangan itu lembut. Hari itu resmilah aku suaminya.
Semenjak hari itu aku cuti kuliah dan kerja. Aku menungguinya dengan sabar. Entah kapan dia akan bangun aku tak tahu. Aku hanya terus berdoa dan berharap. Disebuah subuh yang indah. Aku terkaget ketika sentuhan lembut membelai kepala ku yang tidur pulas disamping tempat tidur itu. Aku sangat terkejut ketika dia tersenyum kepadaku. Senyum yang pertama kali aku lihat ketika distasiun kereta itu. Ya Tuhan..
“Assalamulaikum suamiku..” Ucapnya pelan dan tersenyum lagi.
Aku bangkit mengecup keningnya. Aku curahkan seluruh rasa syukur itu dalam kecupanku. Aku benar-benar bahagia ketika melihatnya.
“Jam berapa sekarang?” Tanyanya lagi.
“Jam 04.50 sayang.” Ujarku lembut. Kata “sayang” itu benar-benar sangat menyenangkan aku ucapkan.
 “Sudah subuhkan.. sayang?” Ucapnya pelan. Sambil tersenyum lalu mengerjap-ngerjapkan matanya lucu.
Aku tersenyum lalu mengagguk.Menatap matanya sedekat itu, menyentuhnya. Benar-benar membuatku bahagia.
“Sayang, kita sholat berjama’ah yuk.” Katanya lagi.
Aku mengangguk. Velisa bertayamum, aku beranjak mengambil air wudhu. Setelah itu membentangkan sajadah disamping tempat tidur Velisa yang telah aku arahkan menghadap kiblat. Lalu kami pun sholat. Dalam setiap sujudku aku curahkan beribu syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT.
Selesai sholat, aku duduk lagi di samping temapt tidur. Velisa mengambil tanganku. Lalu mengecupnya. Aku tertegun lagi melihatnya. Melihat bagaiman dia mengecup tangan ku dengan penuh kelembutan dan sepenuh hati. Lalu telapak tanganku dia tempelkan kepipinya. Lembut sekali. Aku mengecup keningnya. Dan memeluknya pelan.
“Sayang, Aku bahagia dengan semua ini. Terimakasih karena telah mau bertanggungjawab kepadaku.” Ucapnya pelan.
Aku melepaskan pelukkanku. Membaringkannya lagi ketempat tidur.
“Sayang, Maafkan aku. Maaf waktu itu..” Kata-kataku terputus ketika tangannya mendarat dibibirku.
“Sekarang kamu suamiku. Jadi hakmu untuk menyentuhku. Dan jika waktu itu kamu melihatku sekrang telah kamu pertanggungjawabkan.” Katanya. Aku tersenyum mendengar ucapannya.
“Sayang, jika aku harus menemui-Nya lebih dahulu ikhlaskan ya. Aku menunggumu disana. Menunggu kebahagian yang kekal untuk kita berdua.” Ucapnya lagi. Aku terkejut mendengar dia berkata begitu.
“Sayang, bisakah kamu tidak mengucapkan itu ? Sungguh, sembuhlah. Mari kita jalani hari-hari kita bersama.” Jawabku.
“Tidak, tubuh ini tidak begitu kuat untuk bertahan lebih lama. Kamu tahukan.” Katanya sendu. Aku hanya mengangguk lemah.
“Hiduplah bersama cintaku.. bernafaslah karena nafasmu adalah nafasku. Biarkan terus jantung ini berdetak karena jantung ini jantungku.” Ucapnya pelan sembari meletakkan tangannya didadaku.
Aku menggenggam tangannya. Membiarkan tangan itu melekat didadaku. Dia tersenyum. Kemudian aku mengucapkan sesuatu yang benar didorong oleh perasaan membuncah-buncah. “Aku mencintaimu.. istriku.”
Mata kami bertemu. Dia tersenyum lagi. Aku mencondongkan wajahku kewajahnya. Begitu dekat. Aku kecup perlahan bibirnya. Hal yang pertama kali aku lakukan. Sungguh benar-benar tak bisa aku ungkapkan bagaimana rasanya. Lalu aku lepas perlaha kecupan itu. Tanganya erat menggenggam tanganku. Aku tertahan. Begitu dekat. Mata kami bertemu.
“Aku juga mencintaimu.” Katanya pelan. Aku tersenyum lalu mengecupnya lagi. Kecupan terakhir. Karena setelah kebehagian itu membuncah disekelilingku. Suara tut panjang dari monitor itu membuat air mataku mengalir dengan sendirinya. Aku melihatnya sekali lagi. Mata itu terkatup dalam damai. Hujan pun turun.
Aku memandang jauh keluar. Aku genggam foto itu. Foto dipadang ilalang waktu itu. Senyumnya, sinar matanya. Sampai saat ini bisa aku rasakan. Aku memegang dadaku. Mersakan degup jantungku. Degup jantungnya. Aku tersenyum.
“Tunggu aku bidadariku.”